Mahmud dan Penebang Kayu
Manthiqut-Thair by Faridu'd-Din Attar
Ucapan Burung Pertama
Burung pertama berkata pada Hudhud, “O kau yang telah diangkat sebagai
pemimpin, katakan pada kami apa yang membuat kau lebih dari kami. Karena
tampaknya kau pun seperti kami, dan kami seperti kau pula, maka dalam
hal mana letak perbedaannya? Dosa raga atau dosa jiwa manakah telah kami
lakukan, maka kami bodoh sedang kau memiliki kearifan?”
Hudhud
menjawab, “Ketahuilah, o burung, bahwa suatu kali kebetulan Sulaiman
melihat aku; dan bahwa nasib baikku bukanlah berkat emas atau perak,
tetapi karena pertemuan yang mujur ini.
Bagaimana mungkin makhluk
mendapat manfaat dari kepatuhan semata? Iblis sendiri pun patuh. Namun,
siapa pun yang menasihatkan agar meninggalkan kepatuhan, maka kutuk akan
jatuh padanya buat selamanya. Amalkan kepatuhan, maka kau akan berhasil
mendapat pandang sekilas dari Sulaiman yang sejati.”
Mahmud dan Penebang Kayu
Di saat lain ketika Sultan Mahmud sedang berkuda seorang diri, ia
berjumpa dengan pak tua penebang kayu yang sedang menuntun keledainya
mengangkut semak-semak duri. Pada saat itu si keledai tersandung, dan
ketika hewan itu jatuh, duri-duri pun mengelupas kulit kepala pak tua.
Melihat semak-semak duri yang jatuh di tanah, keledai yang terjungkir
balik dan pak tua yang menggosok-gosok kepalanya, Sultan pun bertanya,
“O laki-laki malang, adakah kau membutuhkan kawan?” “Aku benar-benar
membutuhkan,” jawab penebang kayu itu. “Perajurit berkuda yang baik,
kalau kau mau menolongku, aku akan beruntung dan kau tak akan rugi apa
pun. Pandanganmu alamat baik bagiku. Semua tahu sudah bahwa orang akan
menemukan rasa-persahabatan dari mereka yang berwajah ramah.” Maka
Sultan yang baik hati itu pun turun dan kuda, dan setelah menegakkan
kaki keledai, ia pun mengangkat semak-semak duri dan mengikatkannya ke
punggung hewan itu. Lalu ia berkendara pergi menggabungkan diri dengan
pasukannya kembali.
Katanya pada para perajuritnya, “Pak tua
penebang kayu akan datang bersama seekor keledai yang mengangkut
semak-semak duri. Tutuplah jalan agar ia nanti terpaksa harus lalu di
mukaku.” Ketika penebang kayu itu sampai ke tempat para perajurit,
berkatalah ia dalam hatinya, “Bagaimana aku akan dapat lalu dengan hewan
lemah ini?” Maka ia pun pergi lewat jalan lain, tetapi melihat payung
kebesaran raja di jauhan ia pun mulai gemetar, karena jalan yang
terpaksa harus ditempuhnya akan membawa dia berhadapan dengan Sultan.
Ketika ia semakin dekat, ia diliputi kebingungan, karena di bawah payung
itu dilihatnya wajah yang sudah dikenalnya. “O Tuhan,” katanya, “betapa
hamba dalam kesulitan! Hari ini hamba harus menghadapi Mahmud sebagai
penjaga pintu hamba.”
Setelah ia sampai, Mahmud berkata
padanya, “Kawanku yang miskin, apa mata pencaharianmu?” Penebang kayu
itu menjawab, “Tuanku sudah maklum. Janganlah berpura-pura. Tuanku tak
ingat akan hamba? Hamba pak tua yang miskin, penebang kayu pekerjaan
hamba; siang-malam hamba kumpulkan semak-semak duri di gurun, lalu hamba
jual, namun keledai hamba mati karena lapar. Jika Tuanku berkenan, beri
apalah kiranya barang sekedar roti.” “Kau si miskin,” kata Sultan,
“Berapa akan kau jual semak-semak durimu?” Penebang kayu itu menjawab,
“Karena Tuanku tak hendak mengambilnya dengan cuma-cuma, dan hamba pun
tak hendak menjualnya pula, maka berilah hamba sedompet emas.” Mendengar
itu, para perajurit pun berseru, “Tutup mulutmu, pandir! Semak durimu
itu tak ada segenggam enjelai pun harganya. Mestinya kauberikan saja
cuma-cuma.”
Pak Tua itu berkata, “Itu memang betul, tetapi nilainya
sudah berubah. Ketika seorang yang berbahagia seperti Sultan menjamah
ikatan duri-duriku, maka jadilah semuanya itu berkas-berkas mawar. Kalau
Sultan hendak membelinya, maka harganya paling tidak satu dinar, karena
Sultan telah menaikkan nilainya seratus kali dengan menjamahnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar