Bangau
Manthiqut-Thair, Faridu'd-Din Attar
Bangau datang amat tergesa-gesa dan segera mulai bicara tentang dirinya
sendiri, “Rumahku yang jelita di dekat laut di antara danau-danau
pantai, di mana tiada siapa juga mendengar nyanyianku. Aku amat tak
suka menyerang sehingga tak ada yang merasa susah karena aku. Sedih dan
murung aku berdiri merenung di tepi laut asin, hatiku penuh kerinduan
akan air, karena kalau tak ada air, apa yang akan terjadi padaku! Tetapi
karena aku tidak tergolong mereka yang bermukim di laut, aku seperti
mati saja, bibirku kering, di pantainya.
Meskipun air bergolak
dan ombak memecah di kakiku, aku tak dapat menelan setitik pun; namun
jika lautan kehilangan airnya biar sedikit saja pun, hatiku akan
terbakar oleh keresahan. Bagi makhluk seperti aku ini, gairahku terhadap
laut cukuplah sudah. Aku tak kuat untuk pergi mencari Simurgh, maka
harap dimaafkan. Mana mungkin makhluk seperti aku ini, yang hanya
mencari setitik air, dapat mencapai persatuan dengan Simurgh?”
Berkata Hudhud, “O yang tak mengenal laut, tidakkah kau tahu bahwa laut
penuh dengan buaya dan makhluk-makhluk lain yang berbahaya? Kadang
airnya pahit, kadang asin; kadang laut itu tenang, kadang bergelora;
senantiasa berubah, tak pernah tetap; kadang laut itu pasang, kadang
surut. Banyak makhluk besar telah tertelan binasa di tubirnya yang
dalam. Penyelam di dasarnya menahan napas agar ia tak terlempar ke atas
bagai jerami.
Laut ialah unsur yang sama sekali tanpa
kesetiaan. Jangan percaya padanya atau ia akan menghabisi hidupmu dengan
merendammu. Laut itu gelisah karena cintanya akan sahabatnya. Kadang ia
menggulungkan gelombang-gelombang besar, kadang ia berderau. Karena ia
tak mungkin mendapatkan apa yang diinginkannya, bagaimana kau akan
menemukan di sana tempat istirahat bagi hatimu? Lautan ialah anak sungai
yang pasang di jalan menuju ke tempat sahabatnya; kalau demikian,
mengapa pula kau akan tinggal puas di sini, dan tak berusaha melihat
wajah Simurgh?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar