Humay
Manthiqut-Thair, Faridu'd-Din Attar
Kini di muka majelis itu berdiri Humay,1 Pemberi Lindap itu, dengan
bayang-bayangnya yang melimpahkan kemuliaan pada raja-raja. Lantaran ini
ia mendapat gelar “Humayun”, si mujur, karena dari segala makhluk, dialah yang paling besar gairah keinginannya.
Katanya, “Burung-burung di darat dan di laut, aku bukan burung seperti
kalian. Gairah keinginan yang muluk menggerakkan diriku dan untuk
memenuhi itu aku terpisah dari makhluk-makhluk lain. Telah kujinakkan
anjing nafsu, karena itu terpujilah Feridun dan Jamsyid.
Raja-raja diangkat karena pengaruh bayang-bayangku, tetapi orang-orang
yang berwatak pengemis tak suka padaku. Kuberikan tulang pada anjing
nafsuku dan kupertaruhkan jiwaku sebagai jaminan terhadapnya. Bagaimana
orang dapat memalingkan muka dari diriku yang menimbulkan raja-raja
dengan bayang-bayangku.
Di bawah naungan sayapku setiap orang
mencari lindungan. Masihkah kuperlukan persahabatan dengan Simurgh yang
besar bila kemuliaan sudah ada padaku karena sifat pembawaanku?”
Hudhud menjawab, “O budak kesombongan! Jangan kembangkan lagi
bayang-bayangmu dan jangan sombongkan lagi dirimu. Pada saat ini, jauh
dari kekuasaan yang melimpah pada para raja, kau seperti anjing yang
sibuk dengan sekerat tulang.
Tuhan melarang kau mendudukkan
keturunan Khosru di atas tahta. Tetapi andaikan pula bayang-bayangmu
menempatkan para penguasa di atas tahta mereka, esok mereka pun akan
menemui kemalangan dan akan kehilangan kemuliaan mereka selama-lamanya,
sedangkan, bila saja mereka tak melihat bayang-bayangmu, tentulah mereka
tak akan menghadapi perhitungan yang begitu mengerikan di hari
kemudian.”
Mahmud dan Orang Alim
Seorang yang salih, yang
ada di Jalan yang benar, melihat Sultan Mahmud2 dalam mimpi dan berkata
padanya, “O Raja yang bahagia, bagaimana keadaan dalam Kerajaan Baka?”
Sultan menjawab, “Pukul badanku jika kau mau, tetapi jangan ganggu
jiwaku. Jangan berkata apa pun, pergilah, karena di sini tak akan
disebut-sebut tentang jabatan raja. Kekuasaanku hanya riya, kemegahan
diri, kesombongan dan kesesatan semata.
Dapatkah kekuasaan
mengagungkan segenggam tanah? Kekuasaan milik Tuhan, Penguasa Alam
Semesta. Kini setelah kuketahui kelemahan dan kedaifanku, aku pun malu
pada kedudukanku sebagai raja. Bila kau ingin memberiku gelar, berilah
aku gelar “si malang”. Tuhan Raja Alam ini, maka jangan sebut aku raja.
Kerajaan milik Tuhan; dan aku senang kini menjadi seorang darwis biasa
di dunia.
Semogalah Tuhan menyediakan seratus sumur untuk
memurukkan diriku hingga aku tak usah menjadi raja. Lebih baiklah
sekiranya aku menjadi pemungut sisa-sisa panenan di ladang-ladang
gandum. Sebut Mahmud hamba-sahaya. Sampaikan restuku pada putraku Masud,
dan katakan padanya, ‘Jika kau ingin menjadi arif, perhatikan
peringatan dari ihwal bapamu.’ Semoga layulah sayap dan bulu-bulu Humay
itu, yang menaungkan bayang-bayangnya padaku!”
Catatan kaki:
1 Sebangsa makhluk imajiner yang dalam bahasa Latin disebut gryphus,
berbadan singa, berkepala dan bersayap burung rajawali. Humay ialah
gryphus berjanggut. Disebut sebagai burung buas terbesar di Benua Lama.
Menggondol tulang-tulang berbagai binatang dan menghancurkannya di batu
karang untuk dimakam. Bayang-bayang humay yang jatuh di kepala seseorang
ialah alamat bahwa orang itu bakal dinobatkan sebagai raja.
2
Hidup pada tahun 969 – 1030. Ibukotanya di Nisyapur dan istananya di
Gazna. Di istananya banyak berhimpun para penyair, seniman dan
cendekiawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar