Ayam Hutan
Mantiqut-Thair, Faridu'd-Din Attar
Ayam hutan lalu mendekat, cantik tetapi sombong. Tersipu-sipu ia
bangkit dari harta mutiaranya dalam pakaian fajar itu. Dengan mata
berlingkar aku mati atau menemukan batu-batu mulia itu darah dan paruh merah ia terbang sambil sedikit menelengkan kepala, memakai ikat pinggang dan pedangnya.
Ia berkata, “Aku suka mengelana di antara reruntuhan karena aku
menyukai batu-batu mulia. Benda-benda itu telah menyalakan api di hatiku
dan ini membuat aku merasa puas. Bila aku dibakar keinginan untuk
mendapatkannya, kerikil-kerikil yang telah kutelan pun menjadilah seakan
diwarnai darah.
Tetapi sering kudapati diriku di antara
batu-batu dan api, tak berbuat apa-apa dan bingung. O kawan-kawanku,
lihat bagaimana aku hidup! Mungkinkah membangunkan makhluk yang tidur di
atas batu-batu dan menelan kerikil?
Hatiku luka karena seratus
duka, sebab cintaku akan batu-batu mulia telah menambatku ke gunung.
Cinta akan benda-benda lain bersifat fana, sedang kerajaan batu-batu
permata itu kekal; batu-batu permata itu sari dari gunung yang abadi.
Dengan ikat pinggang dan pedangku aku senantiasa mencari intan, namun
aku masih harus menemukan zat yang lebih unggul sifataya dari batu-batu
mulia –bahkan mutiara pun tak seindah itu.
Juga, jalan menuju
Simurgh sulit, dan kakiku terikat pada batu-batu seakan kaki itu lekat
di tanah liat. Bagaimana mungkin aku berharap akan pergi dengan berani
ke hadapan Simurgh yang besar, dengan tangan di kepala, kaki di lumpur?
Biarlah Keluhuranku sudah jelas, dan ia yang tak ikut serta dalam
tujuanku ini tak perlu diperhatikan.”
Hudhud berkata, “O kau
yang mengandung warna segala batu, kau sedikit timpang dan memberikan
alasan-alasan yang timpang pula. Darah hatimu menodai cakar dan paruhmu
dan usahamu mencari itu merendahkan martabat dirimu. Apakah permata itu
kalau bukan hanya batu-batu berwarna? Namun kesukaan akan permata telah
membuat hatimu mengeras beku.
Tanpa warna-warna itu permata
hanya kerikil-kerikil kecil biasa; ia yang memiliki saripati tak akan
meninggalkannya demi gemerlap kulit luar semata. Carilah permata sejati
yang bermutu murni dan jangan merasa puas lagi dengan sebutir batu.”
Cincin Sulaiman
Tak ada batu yang pernah setenar batu pada cincin Sulaiman, namun ini
sebutir batu yang amat bersahaja, tak lebih dari seperdelapan dinar
beratnya. Tetapi ketika Sulaiman membuat cap dari batu itu, seluruh
dunia ada di bawah perintahnya. Kekuasaannya dikukuhkan dan hukamnya
meluas hingga ke ufuk jauh.
Meskipun angin membawa
sabda-kehendaknya ke segala penjuru, Sulaiman hanya mempunyai sebuah
batu seberat seperdelapan dinar saja. “Karena kerajaan dan kekuasaanku
tergantung pada batu ini, maka mulai sekarang tak seorang pun akan
mempunyai kekuasaan sebesar ini.
Meskipun Sulaiman menjadi raja
agung karena cap batu ini, namun benda inilah pula yang memperlambat
kemajuannya di jalan ruhani; maka ia pun sampai ke Sorga Adin lima ratus
tahun lebih kemudian dari nabi-nabi lain. Jika sebuah batu dapat
menimbulkan keadaan demikian pada Sulaiman, apa pula yang mungkin
ditimbulkannya pada makhluk semacam kau ini, Ayam Hutan yang malang?
Jauhkan hatimu dari permata biasa itu. Carilah permata asli dan jangan
berhenti mencari Jauhari Sejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar