Hudhud
Faridu'd-Din Attar-dalam Matiqut-Thair
Hudhud menjawab, “O Bulbul, kau yang tak mau ikut, silau karena bentuk
lahiriah dari segala ini, berhentilah menikmati keterikatan yang begitu
menyesatkan. Cinta Mawar itu banyak durinya; ia
mengusik dan
menguasai dirimu. Meskipun Mawar itu jelita, namun keindahannya akan
segera lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah menjadi
budak cinta yang begitu cepat berlalu. Jika senyum Mawar itu menimbulkan
berahimu, maka itu hanya akan mengisi hari demi harimu dan malam demi
malammu dengan ratapan-ratapan kesedihan. Tinggalkan Mawar itu dan
hendaknya kau malu pada dirimu sendiri; sebab, bersama tiap Musim Semi
yang baru, ia menertawakanmu dan kemudian ia pun tak tersenyum lagi.”
Hudhud Menuturkan Kisah Puteri Raja dengan Darwis
Seorang raja mempunyai seorang putri secantik bulan, yang dicintai oleh
setiap orang. Nafsu terbangkit oleh matanya yang mengantuk sayu dan
bius manis kehadirannya. Wajahnya seputih kapur barus, rambutnya
hitam-kesturi. Kecemburuan bibirnya mengeringkan permata air terindah,
sedang gula pun cair di sana karena malu.
Karena kehendak nasib
seorang darwis sempat melihat putri itu sepintas, dan roti yang
dipegangnya pun jatuh dari tangannya. Putri itu melintasinya bagai nyala
api, dan ketika melintas, putri itu tertawa. Melihat ini, darwis itu
jatuh di atas debu, hampir mati. Ia tak dapat merasa tenang, baik siang
maupun malam, dan ia menangis berkepanjangan. Bila teringat akan senyum
putri itu, ia mengucurkan airmata bagai awan menjatuhkan hujan. Cinta
yang garang ini berlangsung terus tujuh tahun lamanya, dan selama itu ia
hidup di jalanan bersama anjing-anjing. Akhirnya para pengiring sang
putri memutuskan untuk membunuhnya. Tetapi putri itu bicara padanya
dengan diam-diam; katanya, “Mana mungkin akan ada hubungan yang mesra
antara kau dengan aku? Pergilah lekas, atau kau akan dibunuh nanti;
jangan tinggal lagi di pintuku, tetapi bangkitlah pergi.”
Darwis malang itu menjawab, “Pada hari ketika hamba jatuh cinta pada
Tuanku Putri, hamba bercuci tangan dari kehidupan ini. Beribu-ribu yang
seperti hamba mengorbankan diri ke haribaan keindahan Tuan. Karena para
pengiring Tuan hendak membunuh hamba secara tak adil, maka jawablah
kiranya pertanyaan yang biasa ini. Pada hari ketika Tuan menjadi sebab
bagi kematian hamba, mengapa Tuan tersenyum pada hamba?” “O kau si
dungu,” kata putri itu, “ketika kuketahui bahwa kau hendak merendahkan
martabat dirimu sendiri, aku tersenyum karena kasihan. Aku sengaja
tersenyum karena kasihan bukan karena hendak mencemooh.” Berkata
demikian, ia pun lenyap bagai seberkas asap, meninggalkan darwis itu
termangu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar