Minggu, 07 Oktober 2012

Mahmud dan Penebang Kayu - Manthiqut Thair

Mahmud dan Penebang Kayu

Manthiqut-Thair by Faridu'd-Din Attar


Ucapan Burung Pertama
Burung pertama berkata pada Hudhud, “O kau yang telah diangkat sebagai pemimpin, katakan pada kami apa yang membuat kau lebih dari kami. Karena tampaknya kau pun seperti kami, dan kami seperti kau pula, maka dalam hal mana letak perbedaannya? Dosa raga atau dosa jiwa manakah telah kami lakukan, maka kami bodoh sedang kau memiliki kearifan?”

Hudhud menjawab, “Ketahuilah, o burung, bahwa suatu kali kebetulan Sulaiman melihat aku; dan bahwa nasib baikku bukanlah berkat emas atau perak, tetapi karena pertemuan yang mujur ini.
Bagaimana mungkin makhluk mendapat manfaat dari kepatuhan semata? Iblis sendiri pun patuh. Namun, siapa pun yang menasihatkan agar meninggalkan kepatuhan, maka kutuk akan jatuh padanya buat selamanya. Amalkan kepatuhan, maka kau akan berhasil mendapat pandang sekilas dari Sulaiman yang sejati.”

 

Mahmud dan Penebang Kayu
Di saat lain ketika Sultan Mahmud sedang berkuda seorang diri, ia berjumpa dengan pak tua penebang kayu yang sedang menuntun keledainya mengangkut semak-semak duri. Pada saat itu si keledai tersandung, dan ketika hewan itu jatuh, duri-duri pun mengelupas kulit kepala pak tua. Melihat semak-semak duri yang jatuh di tanah, keledai yang terjungkir balik dan pak tua yang menggosok-gosok kepalanya, Sultan pun bertanya, “O laki-laki malang, adakah kau membutuhkan kawan?” “Aku benar-benar membutuhkan,” jawab penebang kayu itu. “Perajurit berkuda yang baik, kalau kau mau menolongku, aku akan beruntung dan kau tak akan rugi apa pun. Pandanganmu alamat baik bagiku. Semua tahu sudah bahwa orang akan menemukan rasa-persahabatan dari mereka yang berwajah ramah.” Maka Sultan yang baik hati itu pun turun dan kuda, dan setelah menegakkan kaki keledai, ia pun mengangkat semak-semak duri dan mengikatkannya ke punggung hewan itu. Lalu ia berkendara pergi menggabungkan diri dengan pasukannya kembali.
Katanya pada para perajuritnya, “Pak tua penebang kayu akan datang bersama seekor keledai yang mengangkut semak-semak duri. Tutuplah jalan agar ia nanti terpaksa harus lalu di mukaku.” Ketika penebang kayu itu sampai ke tempat para perajurit, berkatalah ia dalam hatinya, “Bagaimana aku akan dapat lalu dengan hewan lemah ini?” Maka ia pun pergi lewat jalan lain, tetapi melihat payung kebesaran raja di jauhan ia pun mulai gemetar, karena jalan yang terpaksa harus ditempuhnya akan membawa dia berhadapan dengan Sultan. Ketika ia semakin dekat, ia diliputi kebingungan, karena di bawah payung itu dilihatnya wajah yang sudah dikenalnya. “O Tuhan,” katanya, “betapa hamba dalam kesulitan! Hari ini hamba harus menghadapi Mahmud sebagai penjaga pintu hamba.”

Setelah ia sampai, Mahmud berkata padanya, “Kawanku yang miskin, apa mata pencaharianmu?” Penebang kayu itu menjawab, “Tuanku sudah maklum. Janganlah berpura-pura. Tuanku tak ingat akan hamba? Hamba pak tua yang miskin, penebang kayu pekerjaan hamba; siang-malam hamba kumpulkan semak-semak duri di gurun, lalu hamba jual, namun keledai hamba mati karena lapar. Jika Tuanku berkenan, beri apalah kiranya barang sekedar roti.” “Kau si miskin,” kata Sultan, “Berapa akan kau jual semak-semak durimu?” Penebang kayu itu menjawab, “Karena Tuanku tak hendak mengambilnya dengan cuma-cuma, dan hamba pun tak hendak menjualnya pula, maka berilah hamba sedompet emas.” Mendengar itu, para perajurit pun berseru, “Tutup mulutmu, pandir! Semak durimu itu tak ada segenggam enjelai pun harganya. Mestinya kauberikan saja cuma-cuma.”
Pak Tua itu berkata, “Itu memang betul, tetapi nilainya sudah berubah. Ketika seorang yang berbahagia seperti Sultan menjamah ikatan duri-duriku, maka jadilah semuanya itu berkas-berkas mawar. Kalau Sultan hendak membelinya, maka harganya paling tidak satu dinar, karena Sultan telah menaikkan nilainya seratus kali dengan menjamahnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar