HUDZAIFAH IBNUL YAMAN
Seteru Kemunafikan, Kawan Keterbukaan
Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah saw dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang…., maka sungguh, ia menganutnya itu secara teguh dan suci, serta lurus dan gagah berani, dan dipandangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina….Ia terdidik di tangan Rasulullah saw dengan kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya shubuh, hingga tak suatu pun dari persoalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya…., seorang yang benar dan jujur, mencintai orang-orang yang teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya, orang-orang culas bermuka dua….!
Ia bergaul dengan Rasulullah saw dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudzaifah ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pangkuan Agama Islam, di hadapan Rasulullah dan di tengah-tengah golongan besar Kaum perintis dari sahabat-sahabat Rasulullah saw….
Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan…..
Hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabiat dan airmuka seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak air muka dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam…..
Kemampuannya dalam hal ini, telah sampai kepada apa diinginkannya, hingga Amirul Mu’minin Umar ra yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi – seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudzaifah, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka.
Sungguh Hudzaifah telah dikaruniai fikiran jernih, menyebabkan sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya.
Berkatalah ia:
“orang-orang menanyakan kepada Rasululla saw tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya. Pernah kubertanya: “Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini……, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan…? “Ada”, ujarnya. “Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan…?” tanyaku pula. “Memang, tetapi kabur dan bahaya….?” Apa bahaya itu…? “Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah…”.”Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkah ada lagi kejahatan…?”, tanyaku pula. “Masih”, ujar Nabi, “yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka….!”
Lalu kutanyakan kepada Rasulullah:”Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian…?” Ujar Rasulullah: “senantiasa mengikuti jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka…!
Lalu kutanyakan kepada Rasulullah:”Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian…?” Ujar Rasulullah: “senantiasa mengikuti jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka…!
“Bagaiamana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin…?” “Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walaupun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaaan demikian…!”
Nah tidakkah anda perhatikan ucapannya: “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya…!”?
Pengalaman Hudzaifah yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam.. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya:
“Saya datang menemui Rasulullah saw, kataku padanya: Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka….Maka ujar Rasulullah saw: Kenapa kamu tidak beristighfar…? Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali…”
Inilah dia Hudzaifah musuh kemunafikan dan sahabat keterbukaan… Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudzaifah, dalam keimanan dan kecintaanya…
Disaksikannya bapaknya yang telah beragama Islam tewas di perang Uhud…, dan di tangan srikandi Islam sendiri, yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik…!
Huzdaifah melihat dari jauh pedang sedang dihunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak: “ayahku …ayahku… jangan ia ayahku”… Tetapi Qadla Allah telah tiba….
Dan ketika Kaum Muslimin mengetahui hal itu, mereka pun diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya:
“Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang…!”
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya…
Akhirnya peperangan pun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga Rasulullah saw. Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda Hudzaifah (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Sayidina Hudzaifah ini dan disuruh membagikannya kepada kaum Muslimin. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya….
Pada suatu hari diantara hari-hari yang datang silih berganti dalam tahun 36 hijrah, Hudzaifah mendapat panggilan menghadap Ilahi…Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa orang sahabatnya. Maka ditanyakannya kepada mereka:
“Apakah tuan-tuan membawa kain kafan…?”
“Ada”, ujar mereka.
“Coba lihat”, kata Hudzaifah pula.
“Ada”, ujar mereka.
“Coba lihat”, kata Hudzaifah pula.
Maka tatkalah dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, lalu katanya:
“Kain kafan ini tidak cocok bagiku…!
Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju..!
Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek..!”
Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju..!
Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek..!”
Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat dan sewaktu didengarkan oleh hadirin dengan mendekatkan telinga mereka kedengaranlah ucapannya:
“Selamat datang, wahai maut
Kekasih tiba di waktu rindu
Hati bahagia tak ada keluh atau sesalku…”.
Kekasih tiba di waktu rindu
Hati bahagia tak ada keluh atau sesalku…”.
Ketika itu ruhnya kembali ke hadirat Ilahi, ruh suci di antara arwah para shalihin, ruh yang cemerlang, taqwa, tunduk dan berbakti….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar